Jumat, 28 Oktober 2016

KEMATIAN ADALAH PERUBAHAN KEADAAN



Ada dua alasannya :
Pertama, orang yang sudah mati, kedua mata, telinga, tangan, kaki, lidah dan semua anggota tubuhnya akan diambil darinya. Begitu pula keluarga, anak, kerabat, semua pengetahuan, unta, binatang ternak, para budak, rumah-rumah dan pekarangannya dan semua yang dimiliki akan diambil darinya. Tidak ada bedanya apakah barang-barang ini diambil dari manusia atau manusia itu sendiri yang dipisahkan dari barang-barang tersebut.
Sesungguhnya, perkara yang menyakitkan ialah perpisahan. Perpisahan kadang terjadi Karena diambilnya harta seseorang atau orang tersebut ditawan dari kepemilikan harta. Dalam dua kondisi tersebut, rasa sakit tetap satu. Kematian berarti dipisahkannya manusia dari hartanya dan mengalihkannya kealam lain yang tidak sama dengan alam ini.
Bila di dunia ini ia memiliki sesuatu yang disenangi serta membuatnya merasa tenang dan diperhitungkan keberadaannya, kematian akan dirasa sangat menyedihkan dan menyengsarakan karena harus berpisah dengannya. Jika ia bahagia dengan mengingat Allah dan merasa tentram dengan-Nya, ia akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaannya semakin sempurna. Demikian pula ia dibiarkan menyendiri bersama kekasihnya serta segala rintangan dan aral diputus darinya. Sebab, dunia membuatnya lalai dari mengingat Allah. Inilah satu sisi perbedaan antara kondisi kematian dan kondisi kehidupan.
Kedua, dengan kematian, semua yang tidak terungkap ketika hidup menjadi terungkap. Seperti sesuatu yang tidak terlihat ketika tidur akan terlihat oleh orang yang sedang terjaga. saat ini seluruh manusia seperti dalam keadaan tidur dan ketika sudah meninggal mereka baru terbangun. Pertama kali yang terungkap oleh orang mati ialah apa yang bermanfaat dan berbahaya baginya dari kebaikan dan kejelekan-kejelekan. Setiap kali melihat kejelekannya, ia pun merasa sedih terhadapnya. Sementara orang mukmin akan melihat luasnya keagungan Allah setelah mati.
Kalau diibaratkan dengan kematian, dunia seperti penjara yang sempit. Sementara penghuninya bagaikan tawanan di rumah yang gelap dan sempit, lalu dibukakan untuknya pintu menuju taman yang sangat luas, sehingga matanya tidak mampu memandang hingga ujungnya. Di dalam tanam tersebut terdapat aneka pohon dan burung. Sehingga ia tidak mau lagi kembali lagi ke penjara yang gelap gulita.
Disarikan dari Taskiyatun Nafs Dr. Ahmad farid (Ummul Qura, 2014;144-145)

Senin, 24 Oktober 2016

MOTIVASI MENGINGAT KEMATIAN


Orang yang tenggelam dalam kehidupan dunia serta sibuk dengan tipu muslihatnya dan mencintai kesenangannya. Pasti hatinya akan lalai dari mengingat kematian. Tatkala diingatkan pada kematian, ia akan benci dan lari darinya. Orang-orang itulah yang disinyalir Allah dalam firman-Nya :
“Katakanlah,’sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Al-Jumu’ah ; 8).
Manusia yang tenggelam dalam kehidupan dunia serta ada pula yang mulai bertaubat dan mengetahui anugerah. Orang yang tenggelam dalam kesenangan dunia tidak akan mengingat kematian. Kalaupun mengingatnya, hal itu hanya untuk meratapi dunianya dan sibuk mencela kematian. Jenis mengingat kematian yang seperti ini hanya akan semakin menjauhkannya dari Allah.
Sementara orang yang bertaubat, ia akan memperbanyak mengingat kematian untuk membangkitkan rasa takut (kepada Allah) di dalam hatinya dengan melakukan taubat yang sempurna. Ia membenci kematian, karena ia takut jika kematian mendatanginya sebelum taubatnya sempurna dan sebelum memperbaiki bekal. Jenis membenci kematian seperti ini diperbolehkan. Analoginya, ia seperti orang yang menunda persuaan dengan sang kekasih sampai benar-benar siap bersua dengannya.
Tanda-tanda orang yang bertaubat ialah selalu mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah. Tidak ada kesibukan lain baginya selain hal itu. Kalau tidak demikian, niscaya ia kan mengikuti orang yang tenggelam dalam keduniaan.
Adapun orang yang mengetahui anugerah, ia akan selalu ingat kematian. Sebab, itulah saat perjumpaan dengan sang kekasih. orang seperti ini biasanya menganggap lambat datangnya kematian. Ia menyukai datangnya kematian agar bisa lepas dari negeri orang-orang berbuat maksiat dan beralih ke sisi Rabb semesta alam.
Abu Hurairah Radhiallahuanhu berkata, Rasulullah Shalallahu alaihiwassalam bersabda :
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan”. (HR. Tirmidzi;IX/187, Az-Zuhdu)
Maksudnya, halangilah kelezatan-kelezatan dunia dengan mengingat kematian, hingga kecenderungan kalian kepada kelezatan-kelezatan tersebut hilang, lantas kalian menghadap Allah Aza Wajala.
Ibnu Umar r.a berkata “ aku pernah mendatangi Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam, sebagai orang kesepuluh dari sepuluh orang, lalu seorang dari anshar berkata,’siapa orang yang paling cerdas dan paling mulia wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,’Orang yang paling banyak mengingat kematian diantara mereka dan paling siap untuk menghadapinya. Mereka itulah orang-orang yang cerdas. Mereka pergi membawa kemuliaan dunia dan Akhirat’. (HR. Ibnu Majah 4259).
Allah menjadikan kematian sebagai musibah yang paling besar. Allah Aza Wajala telah menamainya musibah dalam firman-Nya :
“…Lalu kamu ditimpa musibah (bahaya) kematian…” (QS. Al-Maidah : 106)
Hal itu karena kematian merupakan pergantan dari satu keadaan ke keadaan yang lain dan peralihan dari suatu negeri ke negeri yang lain.
Kematian adalah musibah paling besar. Namun demikian , ada musibah yang lebih besar lagi yaitu melalaikan kematian, berpaling dari mengingatnya, jarang sekali memikirkannya dan meninggalkan amal. Mereka sepakat kematian itu sendiri adalah pelajaran bagi orang yang mau mengambil pelajaran dan pemikiran bagi orang yang mau berpikir.
Penulis Mukhtasharut tadzkirah berkata” ketahuilah saudara hati yang keras bisa menjadi lunak dan lembut dengan kehendak Allah Aza Wajala karean beberapa hal. Di antaranya ziarah kubur, mendatangi majelis orang-orang shaleh, mendengarkan cerita orang-orang ahli ibadah dan zuhud yang telah lampau, serta mengingat kematian merupakan pemutus kenikmatan, pemisah beberapa golongan setelah kehidupan mereka sejahtera dan anak-anak laki-laki dan perempuan menjadi yatim setelah mereka merasa mulia dengan orang tua mereka.
Ia menambahkan, diantara faedah mengingat kematian juga adalah menjadikan manusia menghidari maksiat sert atidak merasa bahagia terhadap dunia dan merasa ringan dengan cobaan-cobaan yang ada didalamnya.
Renungkalah wahai saudaraku ! orang yang telah divonis hukuman mati lalu diseret untuk dieksekusi, ia tidak memiliki motivasi untuk melakukan maksiat.
Ia sama sekali tidak akan memperhatikan perhiasan dunia dan kesenangan-kesenangannya. Baginya, setiap musibah ia remeh. Hal ini berbeda orang yang panjang angan-angan. Bahkan kondisinya bertentangan dengan hal itu.
Diantara perkara yang bisa melembutkan hati ialah menyaksikan orang-orang yang sedang sekarat, karena melihat kondisi sekarat, pencabutan nyawa dan rasa sakit mereka saat keluarnya nyawa merupakan pelajaran yang sangat besar.manusia dalam waktu dekat, pasti akan mengalami hal serupa. Barang siapa tidak merasa mendapat pelajaran dari orang-orang  mati, nasehat tidak akan berguna lagi baginya.
Al Hasan berkara,”kematian bisa mengekspose kejelekan-kejelekan dunia. Ia tidak meninggalkan rasa gembira bagi orang yang memiliki hati. Seorang hamba tidak akan memfokuskan hatinya untuk mengingat kematian kecuali ketika dunia tampak remeh di depan kelopak mata dan apa yang berada didalamnya tampak hina baginya.”
Ibnu Muthi’ memandangi rumahnya dan terpesona dengan keelokannya. Lalu ia menangis dan berkata,”Demi Allah, andai saja bukan karena kematian, niscaya aku akan bahagia karenamu. Andai saja bukan karena kesempitan kubur yang akan kita tuju, niscaya mata-mata kita akan tenang dengan dunia.”


Disarikan dari Taskiyatun Nafs Dr. Ahmad farid (Ummul Qura, 2014;142-144)

Minggu, 16 Oktober 2016

BERLEBIHAN DALAM BERGAUL

BERLEBIHAN DALAM BERGAUL
Berlebihan dalam bergaul merupakan penyakit kronis yang mengundang semua kejelekan. Betapa banyak pergaulan melenyapkan nikmat. Betapa banyak ia menyemai permusuhan. Betapa banyak ia menyemai dendam kesumat di dalam hati yang meruntuhkan kokohnya gunung. Namun, ia sendiri (pergaulan yang berlebihan) tak bisa hilang dari hati.
Berlebihan dalam pergaulan mengakibatkan kerugian di dunia dan akhirat, hati dipenuhi asap nafas-nafas anak adam hingga menjadi hitam. Serta hati bercerai-berai, sedih, duka, lemah, dan menanggung beban yang tak sanggup ia pikul dari teman-temannya yang buruk. Selain itu, hal tersebut juga menyia-nyiakan kemaslahatan, melalaikannya dan semua persoalannya. Pikirannya terbagi dalam lembah tuntutan dan keinginan mereka. Lantas apa yang tersisa untuk Allah dan negeri Akhirat?
Inilah akibatnya, alangkah banyak cobaan yang ditempakan akibat pergaulan yang berlebihan. Anugrahnya tersendat, keteguhannya diuraikan, dan cobaan ditempakan. Bukankah kebinasaan manusia disebabkan oleh manusia (temannya)? Bukankah paman Nabi Shalallah alaihiwassalam, Abu Thalib, menjelang kematiannya celaka dikarenakan teman jahatnya?  Mereka terus berusaha mempengaruhi sampai akhirnya bisa mencegah Abu Thalib mengucapkan satu kalimat yang bisa membuatnya bahagia selamanya.
Pergaulan yang berlandaskan kasih sayang dan cinta pada kehidupan dunia dan perilaku saling menjegal antara satu dan yang lain, keberadaannya akan berubah menjadi permusuhan bila hakekatnya tersingkap. Lalu orang yang bergaul ini menggigit kedua tangannya karena menyesal. Sebagai mana firman Allah Aza Wajala :
“Dan (ingatlah) hari( ketika itu) orang-orang zalim menggigit kedua tangannya, seraya berkata,’aduhai kiranya aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.’ Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu sebagai teman akrab(ku). Sesungguhnya ia telah menyesatkan aku dari Al-Quran ketika Al-Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan : 27-29).
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagainya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Az-Zukhruf : 67).
“Dan berkata Ibrahim,’Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebagian kamu mengingkari sebagian (yang lain) dan sebagian kamu melaknati sebagian (yang lain) dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolong pun.” (Al-Ankabut: 25).
Demikianlah keadaan orang-orang yang bersekutu untuk meraih sautu tujuan mereka saling menyayangi ketika masih berusaha bersama-sama mewujudkan tujuan tersebut. Bila tujuan tadi gagal diraih, akibatnya ialah penyesalan , kesedihan dan perasaan sakit. Kasih sayang yang dulu terjalin erat berubah menjadi kebencian, laknat, dan celaan sebagian terhadap sebagian yang lain tatkala tujuan tadi berubah menjadi kesedihan.
Ini sebagaimana keadaannya orang-orang yang besekongkol dalam perbuatan jahat di dunia jika mereka tertangkap dan dihukum. Mereka saling tolong menolong dan mengasihi dalam kebatilan, kasih mereka berubah menjadi kebencian dan permusuhan.
Kaidah yang bermanfaat dalam masalah pergaulan ialah hendaknya manusia bergaul dalam kebaikan. Seperti dalam shalat jumat, shalat berjamaah, hari raya, haji, mempelajari ilmu dan nasehat.
Selain itu, jauhilah mereka dalam hal kejelekan dan berlebih-lebihan dalam perkara mubah. Kalau terpaksa mempergauli mereka dalam kejelekan, sementara tidak mungkin untuk menghindar, maka berhati-hatilah, jangan sampai sepakat dengan mereka. Bersabarlah bila disakiti. Sebab ia pasti akan menyakiti jika anda tak memiliki kekuatan dan penolong.
Namun, sakit tersebut akan membuahkan kemuliaan dan cinta. Selain itu, hal tersebut akan membuahkan penghormatan dan pujian dari mereka, orang-orang mukmin dan Rabb semesta alam. Apabila dalam kejelekan, maka hal tersebut akan membuahkan kebencian, murka serta cacian dari mereka, orang-orang mukmin, dan Rabb semesta alam.
Sabar terhadap siksaan mereka lebih baik akibatnya dan lebih dan lebih terpuji tempat kembalinya. Bila terpaksa mempergauli mereka dalam perbuatan mubah yang berlebihan (jika memungkinkan) berusahalah mengubah majelis mereka menjadi majelis untuk menaati Allah. Hendaknya pula memotivasi dirinya sendiri, menguatkan hati dan jangan beralih pada jalan setan yang menghalanginya melakukan itu, yaitu munculnya perasaan dalam hati bahwa yang anda lakukan riya’, pamer ilmu, dan status dan lain sebagainya. Karena itu, mintalah pertolongan Allah dan warnailah mereka dengan kebaikan semampu anda. Namun , apabila tidak mampu tariklah hati anda dari mereka seperti menarik sehelai rambut dari adonan roti.
Jadilah ditengah-tengah mereka seperti orang yang hadir tapi tak ada, dekat tapi jauh, tidur tapi terjaga, melihat mereka tapi tak memandangnya, mendengar perkataan mereka tapi tak mendengarkannya. Sebab orang tersebut telah menarik hatinya dari mereka menuju Allah, bertasbih disekitar Arsy bersama ruh-ruh yang luhur lagi suci. Alangkah sulitnya hal ini bagi jiwa, tapi sungguh mudah bagi orang yang dimudahkan Allah.
Syaratnya, ia membenarkan Allah Aza Wajala, senantiasa berlidung kepada-Nya, dan menyimpuhkan diri dihadapanNya sembari merendah. Semua ini akan terbantu dengan cinta yang tulus, melanggengkan zikir dengan hati dan lisan, serta menjauhi perkara-perkara yang rusak.
Terkhir ia harus bergaul sesuai kebutuhan. Selain itu ketika bergaul hendaklah ia memilah manusia menjadi empat macam. Bila salah satunya bercampur dengan yang lain sementara ia tidak bisa membedakannya, maka keburukan akan menimpa. Keempat macam manusia tersebut ialah :
Pertama, orang yang dipergauli sebagaimana makanan yang dibutuhkan setiap hari. Bila kebutuhan telah tercukupi, ia tinggalkan pergaulan tersebut. Namun bila membutuhkan lagi, ia kembali mepergaulinya, begitu seterusnya. Janis pergaulan ini lebih mulia dari pada sulfat merah. Mereka ialah para ulama yang mengetahui Allah, perintah-Nya, serta tipu daya musuh-Nya, dan penyakit-penyakit hati berikut obatnya. Mereka ialah orang-orang yang memberi nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan semua makhluk-Nya. Banyak keuntungan yang didapatkan dari pergaulan dalam semacam ini.
Kedua, orang yang dipergauli sebagaimana obat yang dibutuhkan ketika sakit. Setelah sehat, anda tidak perlu lagi meminumnya. Mereka ialah orang-orang yang perlu dipergauli demi kemaslahatan hidup dan memenuhi apa yang anda perlukan. Misalnya ragam jenis interaksi, persekutuan, konsultasi, berobat, dan sebagainya. Jika kebutuhan anda telah terpenuhi dengan pergaulan semacam ini, anda tinggal mempergauli orang macam
Ketiga, orang yang dipergauli sebagaimana penyakit dengan ragam jenis tingkatan kekuatan dan kelemahannya. Diantara orang macam ini, ada yang dipergauli seperti penyakit kronis dan ada pula yang seperti penyakit manahun. Itulah orang yang tidak menguntungkan anda, baik segi agama maupun dunia. Karena itu, anda pasti rugi dalam segi agama dan dunia salah satunya. Sementara kalau terus bergaul dengannya, ia akan menjadi penyakit mematikan yang menakutkan.
Adapula yang dipergauli seperti penyakit gigi geraham yang sangat menyakitkan jika penyakit tersebut hilang, redalah rasa sakitnya.
Adapula yang harus dipergauli seperti orang yang sangat bodoh. Tidak baik bila bicara sehingga diambil manfaatnya. Sebaliknya, tidak baik bila diam sehingga ia mengambil manfaat darimu. Selain itu ia tidak tahu posisi akan dirinya.
Bahkan, bila berbicara sangat menohok hati. Ia kagum dan senang dengan kata-katanya. Sementara  jika diam, hal itu lebih berat daripada baling-baling besar yang tak mampu dibawa dan ditarik diatas tanah. Intinya bergaul dengan orang yang tak terjangkiti kebodohan ialah sebuah keharusan.
Keempat, orang yang jika dipergauli menyebabkan kerusakan. Bergaul dengan orang macam ini, tak ubahnya seperti makan racun. Kalau racun tersebut cocok bagi orang yang memakannnya, hal itu sebagai penawar. Namun , kalau tidak, belasungkawa untuknya. Orang seperti ini amat banyak(semoga Allah tidak memperbanyak mereka) . Mereka ialah pelaku bid’ah, sesat, dan menolak sunnah Rasulullah shalallah alaihiwassalam, tetapi mengajak kepada selainnya.
Disarikan dari Taskiyatun Nafs Dr. Ahmad farid (Ummul Qura, 2014;58-61)